Scandal: It’s (not) a Drama


Title : Scandal: It’s (not) a Drama

Cast :

–          Im Yoona

–          Lee Donghae

Other Cast :

–          Jessica Jung

–          Lee Sungmin

–          Kwon Yuri

Rating : PG-13

Genre : Romance, AU

Length : 4.000+ words

Disclaimer : This is mine and I hope you like it! I’m not the owner of the picture.

**

Previous : We Were in Love

Ketika kita yang hanyalah manusia biasa harus menjalani sebuah drama. Drama kehidupan diri sendiri yang jauh dari kata bahagia. Bagaimana rasanya? Bersama dengan bintang film lainnya yang baru kau kenal selama beberapa jam. Dihadapkan dengan berbagai macam karakter lawan mainmu. Harus menghayati semua peran yang sedang kau mainkan. Menghayatinya dengan sepenuh hati entah itu saat sakit, jatuh cinta ataupun bahagia.

Seperti merasa seolah-olah kau tidak sedang seperti bermain drama. Karena sesungguhnya drama itu selalu sama. Kau tidak pernah dihadapkan pada karakter bahagiamu. Hanya sedih dan sengsara yang selalu menderamu. Apakah kau akan diam? Apakah kau akan menerima keadaan tentang apa yang penulis drama itu berikan?

Yoona hanya bisa menghela nafas berat. Tidak percaya dengan semua yang baru saja didengarnya. Semua yang baru saja terjadi terasa begitu semu. Hanya ada dalam mimpi terburuk yang pernah singgah ditidurnya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Donghae pelan. Perkataan pemuda itulah yang kini membuat Yoona tersadar, kembali ke dunia nyata yang sudah sekian lama didiaminya.

“Eh?” kagetnya. Segera dia menjauhkan kepalanya yang entah sejak kapan sudah menyender di pundak pemuda itu. Dia tidak ingat.

Donghae hanya bisa tersenyum, senang dirasakannya saat akhirnya kini gadis itu sudah kembali ke dunia mereka berdua. Mereka kembali menaungi dunia yang sama. “Kau sudah puas menangis?”

Wajah Yoona bersemu merah menahan malu mendengar perkataan Donghae. Gadis itu hanya bisa menunduk. Otaknya berfikir keras tentang apa yang baru saja terjadi padanya. Dia menangis. Dia bersama dengan pemuda itu. Dan pemuda itu tersenyum padanya. Ah, kenapa dia tidak bisa menemukan jawabannya?

“Penerimaan dan keikhlasan akan membuat setiap takdir terasa begitu indah. Itulah awal dari sebuah kebahagiaan yang akan menghampirimu. Bahwa kita harus menyadari penuh kekuasaan Tuhan,”

Sebuah kalimat yang cukup manis terlontar dari bibir Donghae. Membuat Yoona akhirnya benar-benar tersadar. Drama indah yang dimainkannya selama ini hidup dalam dunia mimpinya. Sebuah kebahagiaan yang dijalaninya dengan pemuda bernama Lee Hyukjae hanyalah semu belaka.

“Sayangnya, seringkali kesombongan membutakan mata. Bahkan keluhan dan protes yang kita ajukan, bahwa tak seharusnya takdir seperti ini yang datang, kadang justru hanya akan memperlihatkan keangkuhan manusia. Kita yang tidak bisa menerima takdir.”

Yoona memandang takjub pemuda disampingnya. Setengah tak percaya jika Donghae bisa mengatakan hal-hal sedalam itu. Sebuah kebenaran yang harus kembali menyadarkannya. Akan sebuah takdir yang sudah Tuhan gariskan untuknya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Apa kau sudah merasa baikan?” tanya Donghae ragu. Pemuda itu pun kini menolehkan kepalanya ke samping. Sehingga Yoona yang masih memandangnya tersentak kaget. Tapi nyatanya gadis itu tak juga mengalihkan pandangan matanya. Membuat mata mereka berdua bertemu.

Sampai akhirnya Donghae tersenyum seraya menyandarkan kepala Yoona di bahunya. Gadis itu tidak memprotes. Dan kini Donghae sudah tahu jawabannya. Gadis itu masih cukup terluka.

“Sebenarnya ada sedikit masalah. Untuk sementara, bisakah kau tinggal di rumahku?” tanya Donghae pelan. Kembali pemuda itu harus menyadari akan sebuah skandal yang telah dibuatnya.

Dalam keheningan yang masih menyelimuti. Perasaan akan kenyamanan yang meliputi Yoona setelah sekian lama diinginkannya kini hadir. Dia hanya bisa mengangguk. Tidak mampu berucap, takut-takut jika kenyamanan itu akan sirna hanya dari sebuah kata yang terlontar dari bibirnya.

“Kalian sudah mau pergi? Ah, baguslah. Aku cukup iri melihat sebuah drama romantis di depanku sedangkan aku hanya seorang diri,” sindir Hyoyeon sambil tersenyum tipis. Membuat Yoona akhirnya benar-benar harus meninggalkan kenyamanan itu. Keduanya berbalik. Donghae hanya bisa tertawa kecil, sedang Yoona yang berada disampingnya hanya menunduk malu.

*

Gerimis menyelimuti sebuah pagi dimana seharusnya kita bisa menyaksikan terbitnya sang surya yang penuh keindahan itu dari ufuk timur. Bukan gerimis diselingi suara petir yang menggelegar, tapi sebuah gerimis yang begitu indah. Tetes-tetes air itu memberikan bau tanah yang menenangkan.

Donghae terlaonjak bangun saat mendapati jam weker di laci samping tempat tidurnya berbunyi. Menandakan jika jam telah menunjukkan pukul tujuh. Dahinya sedikit mengernyit saat tak mendapati cahaya matahari yang biasanya menusuk retina matanya kala dia membuka gorden.

Tap-tap langkah kakinya menggema diseluruh ruangan saat dia mulai turun menuruni tangga. Bau masakan seketika memenuhi rongga hidungnya, membuat perutnya seketika memprotes untuk diisi. Tidak biasanya perutnya akan memprotes seperti ini.

“Selamat pagi,” sapa Yoona riang saat mendapati Donghae masuk ke dapur. Pemuda itu berjalan ke arah kulkas dan mengeluarkan sekotak susu.

“Kau sedang apa?” tanya Donghae disela-sela meminum susunya. Kebiasaannya setiap pagi. Meminum susu untuk mengganjal perutnya.

“Aku tidak mengerti apa yang kau makan setiap hari. Kenapa di kulkas tidak ada bahan apapun selain sosis?” tanya Yoona bingung. Kini gadis itu sudah tampak lebih baik. Matanya bersinar, walau tidak seterang biasanya memang.

Donghae mengamati gadis dihadapannya dengan seksama. Yoona mengenakan celemek bergambar micky mouse milik Sungmin—yang memang selalu ada di dapurnya. Rambutnya digulung ke atas, khas perempuan yang sedang memasak.

“Oh itu, aku memang tidak pernah makan di rumah,” jawab Donghae tersadar. Kini dia pun mulai berjalan mendekat ke arah Yoona. Melihat apa yang sedang dilakukan gadis itu.

Yoona tampak berdecak pelan mendapati jawaban yang dilontarkan Donghae. “Makan makanan siap saji itu tidak baik. Kenapa kau tidak menyewa pembantu saja?” usul Yoona. Gadis itu masih asyik menekuni apa yang ada dihadapannya.

Donghae yang mulai berjalan menjauh menuju ruang makan hanya bisa mendengar samar-samar apa yang dilontarkan Yoona. “Aku hanya takut mereka akan terpesona padaku dan akhirnya akulah yang rugi.”

Teriakan Donghae itu sontak membuat Yoona berbalik. Sayang sekali karena Donghae tak berada disana, karena saat itulah sebuah garis melengkung mulai tergambar di wajah gadis itu. Hanya beberapa detik saja karena setelahnya gadis itu telah memilih untuk kembali menekuni pekerjaannya.

“Aku hanya menemukan ini di kulkasmu. Jadi kau nikmati saja dan setelah itu berikan penjelasan padaku,” kata Yoona seraya menyerahkan sepiring nasi goreng sosis pada Donghae. Sedang pemuda itu tampak acuh, masih asyik dengan laptop dihadapannya.

Yoona nampak acuh saja saat Donghae tak juga menyentuh nasi gorengnya. Gadis itu menikmati masakannya. Walau bagaimanapun setelah hal-hal menyedihkan yang dilauinya, dia butuh tenaga untuk menjalankan aktivitasnya. Tanpa tenaga hanya akan membuatnya semakin terpuruk dan tidak bisa berfikir panjang.

“Lihatlah ini,” kata Donghae seraya menyerahkan laptop ke hadapan Yoona. Dia mengamati setiap detail ekspresi yang ditunjukkan Yoona. Setiap ekspresi yang ditunjukkan gadis itu sangat berarti untuknya. Menentukan setiap langkah yang harus diambilnya.

Yoona hanya bisa menghela nafas berat. Merasa dirinya benar-benar harus membuka hatinya lebar-lebar. Berusaha untuk ikhlas dengan segala takdir yang digariskan untuknya. Tuhan menyanyanginya karena cobaan yang diterimanya datang bertupi-tubi. Tanpa henti.

“Kau membuatku semakin sengsara Hae,” ujarnya pelan. Kembali, gadis itu tidak pernah mengerti akan efek perkataan yang dilontarkannya untuk Donghae. Membuat pemuda itu hanya bisa diam tak berkutik. Semua yang dikatakannya hanya akan membuat gadis itu sedih.

“Maafkan aku,” kata Donghae tulus. Rasanya, semenjak dia mengenal sosok Yoona, kata maaf begitu mudah untuk diucapkannya. Secara samar gadis itu telah merubah Donghae. Menjadi pemuda yang lebih berperasaan dan tidak merendahkan orang lain. Masih ingatkah kalian akan insiden perdebatan mereka tentang uang? Dimana semenjak itulah dia mengerti bahwa tidak semua masalah di dunia ini dapat diselesaikan dengan uang.

“Aku mengerti. Kau sudah melihatku yang sebenarnya, terlepas dari itu aku memang sudah terlanjur untuk masuk ke duniamu. Kau tidak perlu merasa bersalah. Tapi, apa perlu aku tinggal disini?” ujar Yoona tenang. Pemuda itu sudah melihat sosok Im Yoona yang sesungguhnya. Bukan gadis ceria yang dianggapnya tidak akan menangis walau masalah berat menimpanya. Karena sesungguhnya gadis itu masih seperti gadis lainnya.

“Aku tidak bisa menjamin keselamatanmu jika di rumah. Tapi disini, aku bisa menjamin kau aman,” tutur Donghae. “Beritahu pelayan rumahmu jika kau menginap disini, maksudku di rumah temanmu untuk sementara.”

Yoona hanya mengangguk paham. Sedikit menimang-nimang tawaran pemuda disampingnya. Dengan kondisinya yang masih dalam tahap pemulihat dari sakit hati yang dideranya, akan sangat tidak mungkin jika dia sanggup meladeni aksi terror yang mencengkamnya.

Yoona pun akhirnya menuruti permintaan Donghae dan segera beranjak menekan angka nomor telepon rumahnya. Membuat Donghae hanya bisa tersenyum senang. Segala sesuatu yang terjadi, seburuk apapun itu pasti akan menyimpan sebuah hikmah.

*

Rasakanlah penderitaan, pikirkanlah penderitaan, terimalah penderitaan dan kenalilah penderitaan. Sesungguhnya orang yang tidak mengenal arti penderitaan takkan mengenal arti kedamaian sejati.

Saat kita sudah terjerumus ke dalam jalan yang salah, yang menyesatkan dan menyengsarakan misalnya. Kita akan susah untuk kembali ke jalan yang lurus. Walau kita menyadari jika apa yang kita lewat adalah jalan yang salah, tapi berat untuk memutar balik langkah kita.

Jessica menghela nafas berat untuk kesekian kalinya. Sebuah handphone yang berada dalam genggamannya hanya diputar-putarnya sedari tadi. Menimang-nimang untuk menghubungi seseorang atau tidak. Dia hampir putus asa karena tidak juga mendapati respon saat menghubungi Yoona.

Suara langkah kaki yang kian mendekat membuyarkan lamunannya. Dia pun mulai mendongakkan kepalanya. Kini, dilihatnya seorang wanita muda yang sangat dikenalnya berjalan mendekat ke arahnya.

“Apa kau tahu dimana Yoona? Aku sudah menghubungi rumahnya, tapi pelayannya bilang mereka tidak tahu,” tanyanya.

Jessica hanya menggeleng. “Aku tidak tahu Miss. Handphonenya juga tidak aktif,” jawab Jessica. Membuat Kahi hanya bisa menghela nafas. Melihat kabar yang beredar tentu saja membuat wanita itu merasa khawatir terhadap Yoona. Bagaimanapun gadis itu tidak lama akan kembali dihadapkan masalah yang berat.

“Kalau dia mengabarimu, segera hubungi aku,” kata Kahi seraya mulai melangkah pergi. Membuat Jessica kembali pada kesendiriannya.

Kini dia mulai mengeluarkan sebuah laptop dari tasnya. Dengan cekatan menyalakannya dan segera masuk ke dunia maya. Bergabung dengan para sahabat yang dikenalnya di sana.

Gadis itu terlonjak kaget dan terpaksa menghentikan aktivitasnya untuk mengangkat telepon. “Hallo,” sapanya.

“Non Jessica, tadi nona Yoona menelepon, dia bilang untuk sementara dia akan menginap di rumah temannya,” kata suara di seberang. Pelayan rumah Yoona.

Jessica berpikir keras. Yoona menginap di rumah temannya? Siapa? Bukankah biasanya Yoona menginap dirumahnya? Lalu, kenapa gadis itu tidak meneleponnya? Apakah dia marah? Berbagai pertanyaan dan perkiraan menghinggapi Jessica.

“Terima kasih informasinya,” sahutnya seraya menutup telepon.

Seketika perasaan kecewa merayapi hatinya. Merasa kini dia tidak berguna sebagai sahabat Yoona. Ah, kenapa perasaannya begitu teracak-acak seperti ini. Membuatnya bingung sendiri dengan apa yang harus dilakukannya kini.

Perasaan bersalah dan tidak tenang menyelimutinya. Dia yakin jika kini Yoona membutuhkan seorang teman yang bisa diajaknya berbagi cerita. Yang bisa membuatnya nyaman dan melupakan segala masalahnya. Tapi gadis itu tidak menghubungi Jessica.

Ingin sekali rasanya Jessica memutar ulang waktu. Karena dialah Yoona menderita. Karena sikap egoisnya kini sahabatnya itu harus menerima penderitaan yang datang terlalu cepat. Lee Hyukjae, dialah yang membawa pemuda itu kembali ke hadapan Yoona.

“Oppa kau harus menemui Yoona. Berpisahlah secara baik-baik dengannya,” bujuk Jessica pada Hyukjae waktu itu. Sebuah kejutan yang ingin diberikan Jessica untuk Yoona hancur berantakan saat dia mendengar jika ternyata Hyukjae akan bertunangan.

Seandainya dia berpikir ulang untuk membawa pemuda itu dihadapan Yoona mungkin kejadiannya tidak akan secepat ini. Disaat gadis itu sudah bahagia. Tapi dia tidak bisa memutar semuanya, menyesal hanya akan membuang waktunya saja.

Kini dia pun mulai memantapkan hatinya kembali. Melanjutkan aktivitasnya semula memandangi laptop yang berada di hadapannya. Sebuah artikel berjudul ‘Mari Berantas Yoonabitch’ terpampang dihadapannya.

*

Kejadian itu sudah berlangsung selama beberapa hari. Saat sebuah kejadian di pagi hari itu menjadi sebuah kebiasaan untuk Yoona dan Donghae. Dimana setiap paginya akan tercium bau masakan yang memenuhi rongga hidung pemuda itu.

“Kau mau kemana?” tanya Yoona acuh saat mendapati Donghae sudah berpakaian rapi. Tapi rasanya ada yang aneh karena pemuda itu memakai dasi yang terpasang asal. Membuat Yoona ingin tertawa saja.

Donghae tampak masih sibuk dengan laptop yang dipegangnya. Bisakah kalian bayangkan mengetik dengan berdiri? Itulah yang saat ini dilakukan Donghae. Mengejar waktu yang begitu berharga.

Setelah mendapatkan kabar buruk dari pelayannya tempo hari, kini Yoona terpaksa menyetujui permintaan Donghae untuk tinggal sementara di rumahnya. Ya, setidaknya dengan begitu mungkin dia akan sedikit melupakan rasa sakit yang dideritanya.

“Aku rasa sebaiknya kita menghilang dulu dari public,” kata Donghae kemudian. Kini pemuda itu sudah duduk manis di meja makan dengan pandangan mata yang masih mengarah pada laptop dihadapannya.

Yoona masih tidak mengerti dengan maksud pemuda itu. Alih-alih mendekat untuk mencari kejelasan, dia malah meneruskan aktivitas mengorengnya. Sehingga kini bau ikan laut mulai memenuhi rongga hidung Donghae.

“Kau pergi ke pasar?” tanya Donghae langsung. Rasanya sudah sekian tahun dia tidak mencium aroma ikan. Seperti yang sering tercium olehnya dulu, saat dia masih berkumpul bersama kedua orang tuanya. Hidup bahagia di pinggiran pantai Mokpo.

Oke, jangan berpikir jika sekarang Donghae tidak bahagia. Karena inilah jalan hidupnya, pilihannya yang mau tidak mau harus dijalaninya. Dia tidak pernah menyesalinya. Hanya saja, pagi ini gadis itu kembali mengingatkannya pada kedua orang tuanya yang jauh di sana. Merasakan kerinduan pada mereka.

“Pagi tadi. Aku rasa jalanan masih sepi, jadi tidak akan berbahaya,” kata Yoona seraya mencopot celemek yang dikenakannya. Dan dia pun mulai mengambil sepiring ikan serta dua mangkuk berisi nasi dan membawanya ke ruang makan.

Donghae hanya mendongak sekilas dan mengangguk-angguk. Setelahnya, dia kembali berkutat dengan laptop dihadapannya.

“Sekarang, jelaskan padaku apa rencanamu,” tuntut Yoona. Keduanya kini duduk berhadapan, dengan makanan yang siap dinikmati yang ada dihadapan.

Donghae meregangkan otot-otot tangannya dan tersenyum puas. Akhirnya pekerjaannya berakhir sudah. Kepalanya mendongak dan bersiap untuk memberikan penjelasan untuk Yoona. Pemuda itu tersenyum samar mendapati pagi ini masih bisa melihat gadis itu. Tanpa riasan dengan rambut digulung ke atas.

“Aku akan membatalkan semua konserku selama sebulan ini. Lebih baik menunggu masalah ini meredup dari pada runyam,” tutur Donghae. Tangannya mulai bergerak maju mengambil sumpit dan kini suapan demi suapan nasi dengan ikan telah masuk ke mulutnya.

Yoona menatap pemuda di depannya dengan ragu. Bermacam keraguan memenuhi otaknya. “Apa tidak masalah?” tanyanya. Walau bagaimanapun dia tidak ingin Donghae tertimpa masalah. Sudah cukup dia mengetahui betapa kejamnya dunia pemuda itu.

Entah kenapa Yoona tidak ingin melihat Donghae mendapat masalah. Memang benar, secara otomatis masalah yang menimpa pemuda itu akan berdampak pada dirinya. Terlepas dari itu semua dia merasa terluka. Mungkin karena pemuda itu sudah menghiburnya dan dia merasa dia harus membalasnya atau karena hal lain yang tidak diketahuinya.

“Aku sudah mempersiapkan semuanya. Kau tenang saja,” kata Donghae menenangkan. Membuat Yoona akhirnya bisa bernafas lega. Mulai memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Sedangkan Donghae tampaknya sudah hampir mengahabiskan seluruh nasi di dalam mangkoknya.

“Baiklah aku pergi. Hari ini kau di rumah saja, aku jamin tidak akan ada wartawan yang tiba-tiba menyerbumu,” kata Donghae seraya berdiri. Perkataan pemuda itu sontak membuat Yoona mendongak. Membuat gadis itu berpikir: apa yang akan dilakukannya hari ini seharian di rumah?

“Kau bisa menonton tv atau memasak mungkin. Sepertinya masakanmu lumayan enak,” sambung Donghae lagi. Laptop yang ada dihadapannya kini sudah berada di dalam tas. Pemuda itu mengambil kacamata dari dalam tasnya. Serta mengeluarkan sebuah topi.

Dahi Yoona mengernyit saat melihat kacamata yang dikeluarkan Donghae. Setahu Yoona, pemuda itu tidak pernah memakai kacamata. Lalu untuk apa?

“Kau sakit mata?” tanya Yoona penasaran. Tidak bisa menyembunyikan sifat ingin tahunya lebih lama lagi.

Donghae hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan Yoona. “Oh ini untuk penyamaran saja,” terangnya.

Yoona hanya mengangguk-angguk paham. Sesaat dia sempat terpesona mendapati mata teduh milik Donghae kini terhalang oleh kacamata. Dan harus diakuinya, pemuda itu terlihat lebih mapan menggunakan kacamata. Tidak mengurangi ketampanannya.

Yoona menggeleng-gelengkan kepalanya saat tiba-tiba hatinya memuji penampilan pemuda itu. Sejak kapan dia peduli? Untuk apa dia peduli?

“Kau kenapa?” tanya Donghae bingung melihat sikap Yoona yang berubah tiba-tiba. Pertanyaan Donghae membuat Yoona salang tingkah. Pemikiran-pemikiran aneh yang terlintas di otaknya segera dibuangnya jauh-jauh.

“Ah tidak, hanya saja dasimu sangat aneh,” celetuk Yoona. Dan memang benar, karena dasi yang melingkar di leher Donghae sangatlah tidak pas. Mungkin karena Donghae tidak terbiasa memakai dasi dan karena dia sangat terburu-buru jadilah dasi itu terpasang asal.

“Aku sangat terburu-buru tadi,” sahut Donghae seraya membenahi dasinya. Tangan kanannya masih memegang laptop sehingga kini dia cukup kesulitan.

Yoona yang melihat Donghae tampak kewalahan hanya berdecak pelan. Meninggalkan sarapannya untuk sementara dan berjalan mendekati pemuda itu. Tangannya terulur mengambil alih dasi yang dipegang Donghae, membuat pemuda itu hanya bisa melepas dengan pasrah.

Untuk beberapa saat Yoona tengah bergelut dengan dasi Donghae. Tak menyadari jika pemuda itu tengah menatapnya dengan (amat) lekat sampai-sampai dia lupa berkedip. Kacamata yang bertengger manis diwajahnya cukup bisa menyamarkan tatapan tajamnya.

Yoona mendongak saat akhirnya dia berhasil mengikatkan ikatan dasi terakhir dengan sempurna. Sehingga kini dasi yang dikenakan Donghae tampak begitu rapi. Membuat pemuda itu tampak begitu mempesona. Astaga sepertinya otak Yoona sudah tercemar.

Donghae yang saat itu tengah menatap Yoona dengan lekat tampak tidak berniat mengalihkan pandangannya. Sehingga kini pandangan mata keduanya bertemu. Mata Yoona seakan terkunci di sana sehingga dia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Membuatnya melayang sesaat.

Donghae tersenyum manis mendapati Yoona yang juga menatapnya. Tangannya bergerak ke atas melepaskan tangan gadis itu yang masih memegang dasinya. Gadis itu diam tak bergerak. Membisu di tempatnya. Sehingga dia hanya menurut saat Donghae menggenggam tangannya.

“Pemuda yang membuatmu patah hati cukup bodoh karena melepaskanmu. Kau cukup cantik dan menarik Im,” kata Donghae sambil tersenyum. Kini genggaman tangannya dengan Yoona sudah terlepas.

Donghae berjalan menjauh dengan langkah ringan serta senyum yang masih tersungging di sudut bibirnya. Adegan romantis yang diperagakannya pagi ini, dia sangat berharap akan memberikan arti tersendiri untuk gadis itu. Berharap rasa sakit yang diderita Yoona akan segera lenyap. Karena sesungguhnya gadis itu terlalu berharga.

“Hati-hari,” teriak Yoona setelah akhirnya dia tersadar. Untuk beberapa saat gadis itu benar-benar merasa terbius dengan tatapan mata Donghae. Dengan sekuat tenaga dia akhirnya berhasil menghilangkan pengaruh pemuda itu.

“Lee Hyukjae memang bodoh karena telah membuangku,” gumamnya sambil tersenyum. Membuatnya kini sadar bahwa tidak sepantasnya dia terlarut dalam kesedihan dalam sebuah drama yang dijalaninya. Dia harus merubah jalan drama itu sehingga menjadi sebuah kebahagiaan.

*

Suasana sebuah gedung dimana didalamnya terdapat beberapa artis serta penyanyi-penyanyi terkenal asal Korea Selatan itu tampak sepi pagi ini. Tidak tampak adanya mobil-mobil yang biasanya selalu berjejer rapi memenuhi parkiran.

Donghae berjalan dengan setengah menunduk masuk ke dalam. Topi serta kacamata yang dikenalkannya cukup berhasil menyamarkan sosoknya. Helaan nafas lega terdengar saat akhirnya pemuda itu bisa masuk dengan ‘selamat’ menuju ruangan yang selalu di tempatinya.

“Kau sudah menyelesaikan masalahmu?” tanya Sungmin. Donghae hanya mengangguk sekilas. Ah, kini Donghae merasa sudah siap jika memang sahabatnya itu berniat memberikan ceramah pagi untuknya.

“Jadi bagaimana?” tanya Sungmin lagi. Pemuda itu kini beralih duduk di sofa seberang yang ditempati Donghae. Membuat Donghae tersenyum saat tidak mendapati raut marah yang terpancar dari sahabatnya.

Dan akhirnya mengalirlah semua rencana yang telah disusun Donghae. Tentang dia yang selama semalam penuh mempersiapkan surat-surat pembatalan kontrak dengan beberapa acara dan sponsor. Tentang dia yang lebih memilih untuk beristirahat sejenak dari kegiatannya. Dan tentang dia yang diam-diam lebih memilih menjaga perasaan Im Yoona dari pada karirnya. Benarkah?

“Kau tidak berniat mengklarifikasinya?” tanya Sungmin sesaat setelah Donghae menyelesaikan ucapannya.

Donghae tampak berpikir sejenak. Dia memang tidak ingin membuat masalah terlaru berlarut-larut. Tapi, siapkah dia saat ternyata reaksi yang didapatinya setelah dia mengklarifikasinya justru berbanding terbalik dengan yang diinginkannya? Siapkah dia jika akhirnya dia harus mengakhiri kontraknya dengan Im Yoona?

“Tidak sekarang,” gumam Donghae. Tidak untuk sekarang dia melakukan itu. Tidak disaat gadis itu tengah dalam proses menyembuhkan lukanya. Dia tidak akan membiarkan gadis itu tersakiti olehnya. Perasaan ingin melindungi itu semakin kuat.

“Baiklah. Sebaiknya kau bertemu Ayahmu,” kata Sungmin sambil menepuk-nepuk bahu Donghae seraya berdiri. Konteks kata Ayah yang dimaksud Sungmin adalah Lee Sooman, dan Donghae paham betul dengan hal itu.

Dia pun akhirnya mulai berjalan menuju sebuah ruangan di lantai paling atas. Dimana di dalamnya terdapat pria paruh baya yang sudah beberapa hari tidak ditemuinya itu. Dalam perjalanan dia sempat bertemu dengan para artis SMEnt—singkatan dari SM Entertainment—seperti Jonghyun dan Jinki. Donghae mengenal mereka dengan cukup baik.

“Kau datang,” respon Sooman saat Donghae menutup ruangan pria itu. Berjalan mendekat dan duduk dihadapannya. Bagaimana pun dia tetap merasa takut saat dimana dia harus duduk berdua dengan pria paruh baya itu.

Donghae menyerahkan beberapa lembar kertas yang telah dia cetak beberapa saat yang lalu. Sooman tampak mengernyitkan dahinya mendapati kertas yang disodorkan Donghae. “Jadi, apa rencanamu?” tanyanya.

Untuk kedua kalinya, hari ini dia mengutarakan semua rencananya. Tidak apa-apa, demi kebaikannya.

Sooman tersenyum tipis mendengar penuturan Donghae. “Jadi, apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu?” tanya Sooman langsung.

Donghae mengernyitkan dahinya mendapati pertanyaan yang dilontarkan Sooman. “Gadis itu? Taeyeon?” tanya Donghae bingung.

Sooman menggelengkan kepalanya, pertanda bukan. “Kekasihmu,” katanya kemudian. Yang kini perkataan pria itu justru membuat Donghae bingung.

“Kau melakukan ini semua karena kau tidak ingin membuatnya kesulitan. Jadi, apa dia sedang dalam masalah? Oh mungkin aku terlalu ikut campur dalam hubungan kalian,” terang Sooman.

Donghae diam. Pria yang duduk dihadapannya ini memang bukan pria biasa. Segala sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang lain, dia mengetahuinya. Dan bahkan kini dia bisa membaca situasi yang sedang dihadapi Donghae.

“Aku hanya tidak ingin melukainya lebih banyak lagi,” jawab Donghae jujur. Terus terang lebih baik untuk saat ini. Terlalu banyak kebohongan dalam hidupnya. Baik yang sengaja atau pun tidak sengaja dilakukannya.

“Kau menyukainya,” respon Sooman sambil tersenyum tipis. Membuat Donghae yang tengah berjalan terpaksa berbalik. “Sejak awal kau sudah tertarik padanya, tapi kau tidak menyadarinya,” sambungnya.

Donghae hanya menatap bingung pria di hadapannya kemudian berbalik. Dan kini dia mulai merenungi perkataan pria itu. Benarkah dia tertarik pada Yoona? Yang dirasakannya hanyalah rasa ingin melindungi karena gadis itu telah menolongnya.

*

Yoona yang biasanya menari kini dipaksa harus duduk diam menyaksikan sebuah tayangan yang paling dibencinya. Dimana sebuah drama penuh keromantisan sedang tersaji dihadapannya. Salah satu alasan kenapa dia tidak menyukai drama itu adalah, karena dia merasa iri. Iri pada sang tokoh utama yang mendapatkan kebahagiaannya dengan begitu mudah. Sedang dirinya, lihatlah betapa susahnya dia memperjuangkan kebahagiaannya.

Kring. Dering telepon dari sampingnya membuatnya tersadar. Kembali ke dunianya yang sebenarnya. Segera di beranjak dari posisinya dan mengangkat gagang telepon.

“Halo,” sapanya pendek.

“Kau sedang apa?” tanya suara di seberang. Suara yang sudah sangat Yoona hapal. Suara milik Lee Donghae.

“Duduk,” jawab Yoona pendek. Gadis itu sempat mendengar sebuah tawa kecil yang dilontarkan pemuda disebenrang sana sebelum akhirnya pemuda itu berucap.

“Apa kau kesepian? Aku akan segera pulang,” kata Donghae kemudian seraya menutup sambungan. Membuat Yoona terbengong-bengong sendiri. Well, akhirnya pemuda itulah yang kini beralih memutus sambungan lebih dulu.

Yoona menghela nafas berat, hendak beranjak kembali ke posisinya semula kalau saja dia tak mendengar bunyi bel pintu. Dengan langkah pelan Yoona berjalan menuju pintu. Takut-takut jika tamu-tak-diundang yang datang adalah seorang wartawan.

Dia teringat dengan perkataan Donghae jika tidak akan ada wartawan yang bisa masuk ke rumahnya, jadi secara otomatis bukan sembarang orang kan bisa masuk ke rumahnya? Yoona segera membuang jauh-jauh pikiran negatifnya dan membuka ganggang pintu.

“Yoona?” suara riang itu menyapa Yoona tepat saat pintu rumah itu terbuka. Membuat Yoona mematung untuk beberapa saat. Matanya mengerjap, dia pun tersenyum tipis mendapati siapa tamunya.

“Oh hai Yuri,” jawabnya setelah tersadar. Setelahnya dia pun mempersilahkan Yuri masuk. Memberikan sebuah minuman untuk gadis itu.

Kwon Yuri, cinta pertama Donghae. Ya Tuhan, bagaimana dia bisa melupakannya? Dan bagaimana bisa hal-hal aneh yang masih samar itu sempat singgah dihatinya? Lupakan Im Yoona. Lupakan.

“Aku senang bisa melihatmu lagi,” kata Yuri pelan. Gadis itu nampak mengucapkannya dengan begitu tulus. Senyum masih tersungging dari sudut bibirnya.

Yoona tidak tahu harus bereaksi apa saat ini. Maka dia pun hanya tersenyum. Walau senyum itu terlihat begitu kaku. “Aku juga,” ujarnya pelan.

Kecanggungan menyelimuti keduanya. Terang saja, setelah sekian lama mereka tidak bertemu dan kini keduanya bertemu di tempat yang tidak tepat. Dalam arti rumah seseorang yang tidak berada di rumahnya.

Duduk saling berhadapan seperti orang asing. Hanya suara gesekan antara gelas dengan kaca mejalah yang terdengar saat salah satu diantara mereka mengangkat minuman dan mengembalikannya.

“Kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Cerita kami hanyalah sebuah masa lalu yang tidak bisa diulang kembali. Sebuah drama yang sudah tamat,” kata Yuri memecah keheningan. Yoona pun terpaksa menatap gadis itu. Masih belum mengerti dengan maksud ucapan Yuri yang tiba-tiba.

“Untuk apa kau memberitahuku?” tanya Yoona bingung. Tidak mengerti tujuan Yuri mengatakan tentang hubungannya dengan Donghae. Memang ada untungnyakah untuk Yoona?

“Tidak ada,” jawab Yuri sambil tersenyum. Kini, gadis itu mulai berjalan menjauhi Yoona. Melangkahkan kaki jenjangnya menuju ke taman belakang rumah Donghae. Yoona pun akhirnya ikut menyusul.

Untuk beberapa saat keheningan kembali menyelimuti keduanya. “Tentang masa lalu, aku sungguh-sungguh minta maaf Yoona,” ujar Yuri tulus. Memecah keheningan.

Yoona masih diam. Otaknya tiba-tiba tidak bisa berfikir dengan jernih. Karena memang sejujurnya gadis itu belun siap. Tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada Yuri. Tentang masa lalu mereka.

“Kalian…sudah saling kenal?” sebuah suara milik Donghae menyadarkan keduanya. Serentak mereka menoleh ke belakang. Entah sejak kapan pemuda itu sudah berdiri di sana.

Yoona hanya menunduk, tidak ingin menatap mata Donghae. Lebih tepatnya dia tidak ingin memberikan penjelasan. Sedang Yuri hanya tersenyum seraya mengangguk tipis.

Takdir yang begitu manis. Benang-benang takdir yang begitu tipis seringkali membuat orang berpikir tentang sebuah kebetulan. Tuhan tidak begitu saja menyatukan ikatan-ikatan diantara mereka. Pasti ada satu alasan kuat yang mendasarinya.

**

Leave your comment, please. I’d be very happy:-)

Next : How Precious You Are!

Thanks to @BellaBilu.

28 comments

  1. so sweet di pakein dasi, ngepakein dasi ke orang emang hobby aku. 😀
    Emang bodoh yg udah ninggalin Yoona.

  2. ada hubungan apa antara Yoona dan Yuri, ampe Yuri kasih ultimatum ke Donghae ga boleh sakitin Yoona???
    Saia penasaran..

Leave a reply to myyh Cancel reply